09 Desember 2007
Meneliti Sambil Membebaskan
Oleh : B. Hari Juliawan SJ
Mahasiswa PhD Development Studies di Oxford University.
Tinggal di Campion Hall Oxford, UK.
Di lantai tiga kampus saya ada satu ruangan besar yang dinamai hangar alias kandang pesawat. Tentu saja bukan pesawat yang menghuni ruangan itu melainkan mahasiswa-mahasiswi doktoral. Di dalam ruangan itu, setiap mahasiswa bekerja tekun di meja masing-masing yang penuh dengan seperangkat komputer dan setumpuk buku.
Inilah gambaran bagaimana penelitian sosial berlangsung selama ini. Para mahasiswa ini umumnya telah ‘turun’ ke lapangan untuk menghimpun data dan kembali ke kampus untuk menulis hasilnya. Sebagian kadang-kadang kembali ‘turun’ ke lapangan untuk melengkapi data; sesudah itu mereka tetap harus kembali ke kandangnya. Sudah sekian lama penelitian sosial berlangsung demikian. Seorang peneliti mendatangi masyarakat objek penelitiannya. Di tangannya ada segenggam teori dan hipotesis untuk mengungkap cara kerja dan perilaku masyarakat. Setelah mengamati, bertanya, mendengarkan dan berefleksi secukupnya, si peneliti akan sampai pada satu kesimpulan mengenai masyarakat yang ditelitinya. Hasil dari penelitian itu nantinya akan terbit dalam jurnal ilmiah, buku, atau dipresentasikan dalam lokakarya atau seminar yang serba rumit. Masyarakat yang diteliti tadi boleh jadi tidak akan pernah mendengar lagi hasil penelitian dan si penelitinya. Atau mungkin mereka memang tidak pernah tahu bahwa pernah ada penelitian mengenai diri mereka.
Cara penelitian ini dilembagakan dalam banyak bentuk intervensi lembaga-lembaga multilateral seperti Bank Dunia dan IMF, dan lembaga-lembaga donor besar. Mereka menyewa pasukan peneliti dan konsultan lulusan universitas-universitas terkemuka di dunia yang siap dikirim ke manapun untuk membantu merumuskan kebijakan. Biasanya, sekelompok peneliti ahli ini dikirim dan tinggal di negara klien untuk beberapa minggu, mengumpulkan bahan dari ‘lapangan’; sebagian besar waktunya dihabiskan di hotel tempat mereka tinggal dan di kantor-kantor pemerintah di ibukota. Kemudian mereka akan kembali ke kantor pusat mereka untuk merumuskan paket intervensi kebijakan yang menentukan hajat hidup jutaan orang.
PAR
Participatory Action Research (Penelitian Aksi Partisipatif) atau PAR menawarkan cara baru membuat penelitian. Ini adalah penelitian yang berasal dari, dilakukan oleh, dan digunakan untuk masyarakat yang biasanya hanya menjadi objek penelitian. Berbeda dari penelitian konvensional yang secara tegas mengagungkan netralitas dan objektivitas sebagai jaminan kesahihan data dan kesimpulannya, PAR justru secara sengaja melibatkan semua pihak yang berkepentingan dengan topik penelitian. PAR adalah penelitian yang berpihak dan tentu saja bersifat politis.
Di balik pilihan ini ada satu prinsip epistemologis fundamental bahwa pengetahuan dan kekuasaan tak dapat dipisahkan. Para pemikir Sekolah Frankfurt sudah sejak akhir dekade 1940-an berbicara mengenai dominasi cara berpikir yang sifatnya melulu instrumental yaitu demi mengabdi moda produksi kapitalis. Filsuf terkenal Antonio Gramsci memperlihatkan mujarabnya kuasa hegemoni epistemologis yang mampu membujuk massa rakyat untuk tunduk secara sukarela. Kekuasaan mendikte pengetahuan dengan cara mengatur hal-hal apa saja yang boleh diketahui, menutupi yang tidak boleh diketahui, dan membuatnya terlihat alamiah dan wajar. Michel Foucault melangkah lebih jauh lagi dan menunjukkan bahwa pengetahuan pada hakikatnya memang bersifat politis. Kuasa-pengetahuan ini merupakan alat pengontrol masyarakat modern lewat lembaga-lembaga sosial politis. Sedemikian ampuh kuasa-pengetahuan ini sehingga, tidak hanya mengontrol, ia juga menciptakan realitas dan rejim kebenaran.
Mari kita ambil contoh kebijakan untuk membuat pasar kerja yang lentur. Kebijakan ini ditampilkan seolah-olah sebagai satu-satunya jalan keluar untuk mengatasi pengangguran di era persaingan global. Katanya, siapapun sekarang ini mengakui kemujaraban hukum pasar bebas penawaran dan permintaan. Supaya meyakinkan, ditampilkan tabel-tabel dan indeks tingkat efisiensi dan kompetisi buruh dari berbagai negara, dan buruh Indonesia berada di urutan terakhir. Ilmu ekonomi, atau persisnya ekonomi neoklasik, memberi resep fleksibilitas sebagai jalan keluar yang sudah terbukti di banyak tempat. Katanya, buruh di India dan Cina lebih murah sehingga investor lebih tertarik datang ke sana. Di dua tempat itu, undang-undang perburuhan tidak membatasi outsourcing sehingga industri berkembang pesat. Kampanye ini tidak pernah menyebut bahwa pemerintah di Cina mewajibkan pemodal menyediakan fasilitas-fasilitas seperti perumahan dan kesehatan bagi buruh. Juga jarang diceritakan bahwa serikat-serikat buruh di India punya tradisi panjang dan punya daya tawar yang kuat. Seolah-olah dengan fleksibilitas atau kelenturan pasar tenaga kerja semua masalah pengangguran akan terpecahkan padahal pengangguran bukan melulu masalah ekonomi. Yang paling menyedihkan, laporan-laporan para ekonom tidak pernah menceritakan nasib sebagian buruh di kedua negara itu yang memang ditelantarkan negara dan dibiarkan untuk dieksploitasi. Di mana kisah buruh dilukiskan di tabel-tabel dan indeks itu?
Kata ‘lentur’ itu sendiri mempunyai konotasi yang positif dibandingkan kata ‘kaku’. Kebanyakan orang tentu lebih suka disebut lentur dan tidak kaku. ‘Kelenturan pasar tenaga kerja’ terdengar lebih menarik dan ‘benar’ daripada ‘kekakuan pasar tenaga kerja’. Ini bukan soal selera bahasa saja; ada masalah yang lebih serius di balik permainan kata tersebut. Pengetahuan telah didominasi oleh lembaga-lembaga penelitian dan para akademisi, dan ada bahaya, suara keprihatinan orang-orang yang terpinggir tidak mendapat tempat. Penindasan buruh rupanya tidak berhenti pada soal-soal yang sifatnya material seperti upah dan kondisi kerja. Terjadi pula penindasan yang sifatnya epistemologis, yaitu manipulasi dalam penciptaan pengetahuan. Supaya pengetahuan mengenai buruh tidak mengalami pembelokan, mestinya orang-orang yang langsung mengalaminya ikut memproduksi pengetahuan tersebut.
Membangun komunitas sambil meneliti
Sejak zaman Charles Dickens dan Karl Marx sudah ada banyak penelitian mengenai nasib buruh, namun masih jarang penelitian yang dikerjakan sendiri oleh buruh dan berangkat dari keprihatinan mereka sendiri. Ketika menulis sejarah The Making of the English Working Class (1963), Edward P. Thompson ingin menampilkan ruh yang bekerja dalam diri setiap tukang, pengrajin, buruh pabrik dan ulama lokal. Menurut Thompson, pembentukan kesadaran kelas pekerja merupakan proses yang dimulai dari bawah oleh para buruh sendiri dan bukan oleh para pemimpin yang serba tahu. Ia menolak para sejarawan ekonomi yang melihat buruh sebagai faktor produksi dan angka statistik belaka. PAR mewarisi semangat yang sama dan menawarkan metodologi penelitian yang melibatkan kaum terpinggir sebagai peneliti untuk menjawab kebutuhan-kebutuhan yang muncul dari pahit getir kehidupan mereka setiap hari. Dengan PAR, orang-orang tersingkir membangun kemampuan untuk melakukan penelitian sendiri; dengan kata lain, PAR adalah alat pembebasan. Melalui aktivitas penelitian model ini, kaum tersisih merebut pengetahuan dari dominasi dan monopoli para peneliti mapan seperti para akademisi, lembaga penelitian, bisnis, dan pemerintah.
Pada dasarnya PAR merupakan rangkaian aktivitas yang berlangsung dalam rantai rencana – aksi – refleksi. Ada banyak variasi untuk setiap langkah dalam rantai itu namun pada dasarnya kerangka utamanya tetap. Kerangka ini memperlihatkan bahwa metode penelitian ini berorientasi pada aksi seperti ditunjukkan oleh namanya ‘Penelitian Aksi Partisipatif’. Aksi ini maksudnya adalah bahwa seluruh kegiatan berujung pada usaha untuk memahami persoalan dan mencari jalan keluarnya dengan harapan nantinya buruh dapat memperbaiki nasibnya, betapapun sederhana dan kecil. PAR dibuat supaya penelitian tidak berhenti pada refleksi teoretis atau diskursus ilmiah yang hanya dimengerti oleh para akademisi. Sekalipun demikian, tidak berarti bahwa prosesnya berlangsung secara sekejap seperti sering dituduhkan oleh banyak kalangan ketika menyebut kata ‘proyek’ misalnya. Sebaliknya, PAR boleh jadi membutuhkan waktu yang lebih lama dan proses yang lebih merepotkan daripada penelitian konvensional. Salah satu sumber ‘kerepotan’ ini ada pada sifatnya yang partisipatif.
Sifat partisipatif ini seringkali mudah disalahartikan. Sekarang ini kata ‘partisipatif’ telanjur dipakai berlebihan. Segala aktivitas harus menyandang kata sifat ini bila hendak disebut demokratis. Ada bahaya kata ini dipakai justru untuk menutupi hakikat suatu aktivitas yang sebenarnya tidak partisipatif. Orang sering cukup puas dengan konsultasi dan menyebutnya partisipasi. Bila keputusan sudah diambil secara sepihak dan baru sesudahnya dibicarakan dengan komunitas yang terkena dampaknya, ini bukanlah bentuk partisipasi. Partisipasi juga lebih dari sekedar mobilisasi massa untuk mendukung suatu proyek pembangunan yang sudah diputuskan oleh otoritas berwenang, LSM, atau sekelompok ahli. Partisipasi berarti, komunitas bersangkutan sendiri menengarai persoalan-persoalan yang dihadapinya, mencari jalan keluar dan menetapkan bagaimana jalan keluar itu hendak diwujudkan dalam kebijakan dan tindakan. Orang mungkin bertanya, apakah PAR sama sekali tidak membutuhkan seorang ahli atau peneliti profesional. Partisipasi tidak berarti menutup pintu bagi siapapun di luar komunitas bersangkutan. Ahli atau peneliti profesional masih mungkin terlibat sebagai fasilitator atau narasumber yang membantu kelancaran ketiga tahapan namun tidak ikut menentukan isinya.
Konsekuensinya, komunitas yang hendak membuat penelitian menurut model PAR dituntut mampu mengorganisir dirinya sendiri menjadi kelompok yang efektif dan partisipatif pula. Nama ‘komunitas’ sebenarnya sudah menunjuk pada koherensi tertentu yang menyatukan individu-individu dalam suatu kelompok. Dalam kelompok semacam ini tentu ada perbedaan dan pertarungan kepentingan. Ada kelompok-kelompok kecil dalam kelompok yang lebih besar, dan selalu ada potensi kelompok yang lebih kuat mendominasi kelompok-kelompok lain. Koherensi bisa muncul karena faktor dominasi kelompok kuat, tetapi bisa juga karena perbedaan kepentingan antar kelompok ditata dan diolah secara produktif. Struktur organisasi seperti serikat buruh dapat membantu penataan komunitas buruh, tetapi ia juga dapat melestarikan dominasi kelompok-kelompok mapan. PAR memang mungkin dibajak untuk memperkuat relasi kekuasaan yang telanjur ada dalam kelompok buruh. Misalnya, apakah buruh perempuan merasa kepentingannya terwakili ketika serikat buruh berbicara mengenai kesejahteraan? Apakah senioritas sering lebih penting daripada kapasitas pemahaman isu perburuhan? Apakah buruh pendatang dan buruh setempat dapat sepakat? Penelitian yang sungguh-sungguh partisipatif pasti menyentuh persoalan-persoalan mendasar ini. Persoalan-persoalan ini sudah sering diungkapkan oleh para peneliti. Bedanya, bila penelitian ini dikerjakan oleh buruh sendiri, ada efek pembebas yang ikut bekerja meskipun mungkin tidak selalu diterima oleh setiap orang dalam kelompok buruh itu.
Prospek Masa Depan
Ke dalam, PAR membantu buruh untuk mengorganisir diri bila dijalankan dengan benar. Penelitian partisipatif pada dasarnya adalah latihan dalam berkomunikasi dan bekerjasama dalam komunitas. Nilai-nilai dasar seperti kesadaran kritis, komitmen pada pemberdayaan, dan penghormatan pada keragaman dijunjung tinggi. Ke luar, PAR memperkuat posisi tawar kelompok-kelompok buruh berhadapan dengan pemodal dan pemerintah. Buruh dapat menantang dominasi pemaknaan dan penciptaan realitas oleh aktor-aktor yang selama ini terlalu berpengaruh dalam masyarakat. Bagi para peneliti profesional, PAR menantang konsep-konsep mapan yang selama ini dipakai untuk bekerja. Yang lebih mendasar lagi, PAR menuntut para peneliti untuk menanggalkan asumsi-asumsi teoretisnya dan siap belajar lagi bersama komunitas buruh.
Pada akhirnya, PAR diharapkan untuk menghadirkan realitas alternatif dalam dunia yang selalu berada dalam bahaya dominasi kekuasaan modal. Bahaya ini semakin nyata karena menguatnya korporasi-korporasi multinasional dengan kekuasaan finansial dan diskursif yang hampir tak terbatas. Buruh hanya akan menjadi komoditas murah dalam rantai produksi bila ia tidak mampu menciptakan dunia baru. PAR adalah langkah kecil menuju pembebasan itu.
Bahan Bacaan
- Bessette, G. 2004. Involving the Community: a Guide to Participatory Development Communication. Dapat diakses di http://www.idrc.ca/en/ev-52226-201-1-DO_TOPIC.html.
- Brydon-Miller, M. et al. 2003. ‘Why Action Research?’ dalam Action Research Vol 1 (1): 9-28.
- Dick, B. 2006. ‘Action Research Literature: Themes and Trends’ dalam Action Research Vol 4 (4): 439-458.
- Thompson, E.P. 1963. The Making of the English Working Class. Harmondsworth: Penguin.