Forum Pendamping Buruh Nasional

↑ Grab this Headline Animator

27 Oktober 2006

Labour Market Flexibility : Fleksibel Bagi Siapa?*

Dimuat dalam Jurnal FPBN edisi I

Oleh: Bagus M (SPIS - Jakarta)

Awal Juni 2004. Siang itu begitu terik. Antrian di depan Puskemas Balaraja cukup panjang. Seorang anak perempuan berusia sekitar 2 tahun menangis dalam gendongan sang ibu. Dari kedua lubang hidungnya meler cairan ingus dan di kepala mungilnya ada beberapa benjolan bisul cukup besar. Terasa sakit sekali. Sementara sang ibu berusaha menghibur anaknya supaya diam. Kelelahan tergambar jelas diwajahnya.

Sang Ibu adalah salah satu dari buruh perempuan di PT Sarasa Nugraha Tbk. Unit Balaraja. Berkat upaya dari berbagai pihak, hari itu Puskemas Balaraja kembali melayani para buruh setelah 4 bulan lalu PT. Sarasa menutup pabrik sekaligus memutus pelayanan kesehatan yang selama ini diterima oleh para buruh.

Selanjutnya, simak disini


Selanjutnya, simak disini!

19 Oktober 2006

Gerakan Buruh Dalam Perspektif Gender

Dimuat dalam jurnal FPBN edisi III

Oleh: L. Gathot Widyanata[1]

Pengantar

Pasar tenaga kerja saat ini didominasi oleh buruh perempuan. Peluang kerja bagi perempuan lebih memungkinkan ketimbang laki-laki. Pilihan strategi industrialisasi di Indonesia tampaknya masih memperlihatkan lebih suka menggunakan tenaga kerja perempuan ketimbang buruh laki-laki. Sepintas, hal ini merupakan kemajuan bagi perempuan, karena akses buruh perempuan lebih besar. Apakah demikian? Atau ketidakadilan gender baru muncul?

Selanjutnya, simak disini



Selanjutnya, simak disini!

13 Oktober 2006

INDUSTRI POST- FORDISME DAN FLEKSIBILISASI HUBUNGAN KERJA

Dimuat dalam Jurnal fpbn edisi I

Oleh : M. Sumartono[i]

"…… betapa susahnya para buruh berjuang keras untuk mendapat pekerjaan yang layak, tetapi IMF bersikeras untuk menawarkan apa yang dengan ungkapan pelembut disebut "labor market flexibility", yang seolah-olah menciptakan pasar kerja berjalan lebih baik, tetapi prakteknya telah disederhanakan menjadi sebuah nama untuk memperendah upah dan hilangnya jaminan pekerjaan"[ii]

Tidak terlalu jelas apakah ungkapan Stiglitz di atas berupa kritik, kekecewaan ataukah pembelaan terhadap buruh. Tetapi, sebagai bentuk kebijakan IMF dan prakteknya di banyak negara, LMF tetap negatif di matanya. Sudah menjadi rahasia umum bahwa kebijakan LMF "dibawa" oleh IMF kepada negara-negara miskin dan pengutang kepadanya. Setidaknya pertama kali diterapkan pada Argentina yang selama 5 tahun terakhir angka pengangguran mendekati 18,6 %. LMF ini menjadi inti "persetujuan" dengan IMF sebagai syarat utang dan reformasi ekonomi yang pro-pasar. Dan pada kenyataannya, LMF menjadi "reformasi generasi kedua" setelah penghapusan subsidi dalam rangka reformasi ekonomi untuk negara-negara pengutang atau negara-negara miskin[iii].

Selanjutnya, simak disini


Selanjutnya, simak disini!

11 Oktober 2006

Menemukan Kembali Hukum Perburuhan yang Sejati

Dimuat dalam jurnal fpbn edisi IV

… saat ini masyarakat kepayahan mengais kesempatan kerja. Ironis karena di sisi lain pengusaha sibuk menyiasati aturan untuk tidak menanggung pekerja...

Kompas, 4 Maret 2006, ’Mengais Kerja dan Menyiasati Peraturan’

Menemukan Kembali Hukum Perburuhan yang Sejati:
Beberapa Catatan Kon
septual[1]

oleh

Surya Tjandra

Trade Union Rights Centre

(Pusat Studi dan Advokasi Hak-hak Serikat Buruh)

surya@turc.or.id

Pengantar

Kontroversi dan perlawanan buruh terhadap rencana pemerintah merevisi UU No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UUK) sempat meredup begitu akhirnya Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, yang seperti menjilat lidahnya sendiri, mengatakan ‘abaikan draft revisi UUK’, dan bahwa revisi akan dibahas melalui forum tripartit, dengan juga meminta masukan dari ‘akademisi’ di lima universitas negeri (Kompas, 9 April 2006). Rencana merevisi UUK sesungguhnya sudah menjadi proyek resmi Pemerintah, dengan payung hukum Instruksi Presiden No. 3 tahun 2006 tentang Paket Kebijakan Perbaikan Iklim Investasi[2] yang pada Bagian IV soal ‘Ketenagakerjaan’ (hal. 16) menegaskan kebijakan ‘menciptakan iklim hubungan industrial yang mendukung perluasan lapangan kerja’, dengan program utama ‘mengubah UU No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan’, dan batas waktu penyampaiannya ke DPR adalah April 2006.

Selanjutnya, simak disini


Selanjutnya, simak disini!

07 Oktober 2006

Memburu Revisi UU 13/2003:

Dimuat dalam Jurnal FPBN edisi IV

Selamat tinggal proteksi, selamat datang liberalisasi

Oleh M. Sumartono

PJ FPBN wilayah Jabotabek dan Batam

Aktivis perburuhan Lembaga Daya Dharma Keuskupan Agung Jakarta

Sejak 8 Februari 2006 lalu, seakan mendung kelabu bagi sebagian besar kaum buruh di Indonesia. Pasalnya, tanggal tersebut tertera cap pada draft revisi UU 13/2003. Berbagai reaksi muncul sesudah draft tersebut tersebar di masyarakat. Komisi IX pun kaget, kenapa draft revisi sudah duluan muncul di publik. Serangkaian hearing terjadi, tanggal 27-28 Februari lalu antara Komisi IX DPR dengan FSBSI & KSPSI. Reaksi setelahnya menolak seluruh draft revisi itu. Sesudah itu, gelombang demonstrasi buruh terjadi di berbagai kota industri. Bahkan kota Magelang yang skala industrinya kecil pun tak luput dari gejolak demontrasi penolakan revisi UU 13/2003. Hampir tiap hari, Bundaran HI & Istana Negara tak pernah sepi dari aksi penolakan revisi, hingga puncaknya Rabu, 4 April lalu puluhan ribu buruh berdomentrasi, hingga dapat menembus istana Wapres dan 10 perwakilannya diterima Yusup Kalla. Lalu, Jumat 7 April, Presiden mengundang perwakilan SB, Apindo dan dari pihak pemerintah sendiri. Presiden mengatakan bahwa soal revisi UU 13/2003 ini perlu mulai dari nol lagi dengan melibatkan tripartite dan pihak eksternal. Presiden juga ingin menggandeng 5 PT negeri untuk mengkaji secara komprehensif soal UU ketenagakerjaan ini.

Selanjutnya, simak disini


Selanjutnya, simak disini!

This page is powered by Blogger. Isn't yours?