Forum Pendamping Buruh Nasional

↑ Grab this Headline Animator

09 Desember 2007

Meneliti Sambil Membebaskan

Dimuat dalam Jurnal FPBN edisi 7, Mei - Agustus 2007


Oleh : B. Hari Juliawan SJ
Mahasiswa PhD Development Studies di Oxford University.
Tinggal di Campion Hall Oxford, UK.

Di lantai tiga kampus saya ada satu ruangan besar yang dinamai hangar alias kandang pesawat. Tentu saja bukan pesawat yang menghuni ruangan itu melainkan mahasiswa-mahasiswi doktoral. Di dalam ruangan itu, setiap mahasiswa bekerja tekun di meja masing-masing yang penuh dengan seperangkat komputer dan setumpuk buku.

Inilah gambaran bagaimana penelitian sosial berlangsung selama ini. Para mahasiswa ini umumnya telah ‘turun’ ke lapangan untuk menghimpun data dan kembali ke kampus untuk menulis hasilnya. Sebagian kadang-kadang kembali ‘turun’ ke lapangan untuk melengkapi data; sesudah itu mereka tetap harus kembali ke kandangnya. Sudah sekian lama penelitian sosial berlangsung demikian. Seorang peneliti mendatangi masyarakat objek penelitiannya. Di tangannya ada segenggam teori dan hipotesis untuk mengungkap cara kerja dan perilaku masyarakat. Setelah mengamati, bertanya, mendengarkan dan berefleksi secukupnya, si peneliti akan sampai pada satu kesimpulan mengenai masyarakat yang ditelitinya. Hasil dari penelitian itu nantinya akan terbit dalam jurnal ilmiah, buku, atau dipresentasikan dalam lokakarya atau seminar yang serba rumit. Masyarakat yang diteliti tadi boleh jadi tidak akan pernah mendengar lagi hasil penelitian dan si penelitinya. Atau mungkin mereka memang tidak pernah tahu bahwa pernah ada penelitian mengenai diri mereka.

Cara penelitian ini dilembagakan dalam banyak bentuk intervensi lembaga-lembaga multilateral seperti Bank Dunia dan IMF, dan lembaga-lembaga donor besar. Mereka menyewa pasukan peneliti dan konsultan lulusan universitas-universitas terkemuka di dunia yang siap dikirim ke manapun untuk membantu merumuskan kebijakan. Biasanya, sekelompok peneliti ahli ini dikirim dan tinggal di negara klien untuk beberapa minggu, mengumpulkan bahan dari ‘lapangan’; sebagian besar waktunya dihabiskan di hotel tempat mereka tinggal dan di kantor-kantor pemerintah di ibukota. Kemudian mereka akan kembali ke kantor pusat mereka untuk merumuskan paket intervensi kebijakan yang menentukan hajat hidup jutaan orang.

PAR

Participatory Action Research (Penelitian Aksi Partisipatif) atau PAR menawarkan cara baru membuat penelitian. Ini adalah penelitian yang berasal dari, dilakukan oleh, dan digunakan untuk masyarakat yang biasanya hanya menjadi objek penelitian. Berbeda dari penelitian konvensional yang secara tegas mengagungkan netralitas dan objektivitas sebagai jaminan kesahihan data dan kesimpulannya, PAR justru secara sengaja melibatkan semua pihak yang berkepentingan dengan topik penelitian. PAR adalah penelitian yang berpihak dan tentu saja bersifat politis.

Di balik pilihan ini ada satu prinsip epistemologis fundamental bahwa pengetahuan dan kekuasaan tak dapat dipisahkan. Para pemikir Sekolah Frankfurt sudah sejak akhir dekade 1940-an berbicara mengenai dominasi cara berpikir yang sifatnya melulu instrumental yaitu demi mengabdi moda produksi kapitalis. Filsuf terkenal Antonio Gramsci memperlihatkan mujarabnya kuasa hegemoni epistemologis yang mampu membujuk massa rakyat untuk tunduk secara sukarela. Kekuasaan mendikte pengetahuan dengan cara mengatur hal-hal apa saja yang boleh diketahui, menutupi yang tidak boleh diketahui, dan membuatnya terlihat alamiah dan wajar. Michel Foucault melangkah lebih jauh lagi dan menunjukkan bahwa pengetahuan pada hakikatnya memang bersifat politis. Kuasa-pengetahuan ini merupakan alat pengontrol masyarakat modern lewat lembaga-lembaga sosial politis. Sedemikian ampuh kuasa-pengetahuan ini sehingga, tidak hanya mengontrol, ia juga menciptakan realitas dan rejim kebenaran.

Mari kita ambil contoh kebijakan untuk membuat pasar kerja yang lentur. Kebijakan ini ditampilkan seolah-olah sebagai satu-satunya jalan keluar untuk mengatasi pengangguran di era persaingan global. Katanya, siapapun sekarang ini mengakui kemujaraban hukum pasar bebas penawaran dan permintaan. Supaya meyakinkan, ditampilkan tabel-tabel dan indeks tingkat efisiensi dan kompetisi buruh dari berbagai negara, dan buruh Indonesia berada di urutan terakhir. Ilmu ekonomi, atau persisnya ekonomi neoklasik, memberi resep fleksibilitas sebagai jalan keluar yang sudah terbukti di banyak tempat. Katanya, buruh di India dan Cina lebih murah sehingga investor lebih tertarik datang ke sana. Di dua tempat itu, undang-undang perburuhan tidak membatasi outsourcing sehingga industri berkembang pesat. Kampanye ini tidak pernah menyebut bahwa pemerintah di Cina mewajibkan pemodal menyediakan fasilitas-fasilitas seperti perumahan dan kesehatan bagi buruh. Juga jarang diceritakan bahwa serikat-serikat buruh di India punya tradisi panjang dan punya daya tawar yang kuat. Seolah-olah dengan fleksibilitas atau kelenturan pasar tenaga kerja semua masalah pengangguran akan terpecahkan padahal pengangguran bukan melulu masalah ekonomi. Yang paling menyedihkan, laporan-laporan para ekonom tidak pernah menceritakan nasib sebagian buruh di kedua negara itu yang memang ditelantarkan negara dan dibiarkan untuk dieksploitasi. Di mana kisah buruh dilukiskan di tabel-tabel dan indeks itu?

Kata ‘lentur’ itu sendiri mempunyai konotasi yang positif dibandingkan kata ‘kaku’. Kebanyakan orang tentu lebih suka disebut lentur dan tidak kaku. ‘Kelenturan pasar tenaga kerja’ terdengar lebih menarik dan ‘benar’ daripada ‘kekakuan pasar tenaga kerja’. Ini bukan soal selera bahasa saja; ada masalah yang lebih serius di balik permainan kata tersebut. Pengetahuan telah didominasi oleh lembaga-lembaga penelitian dan para akademisi, dan ada bahaya, suara keprihatinan orang-orang yang terpinggir tidak mendapat tempat. Penindasan buruh rupanya tidak berhenti pada soal-soal yang sifatnya material seperti upah dan kondisi kerja. Terjadi pula penindasan yang sifatnya epistemologis, yaitu manipulasi dalam penciptaan pengetahuan. Supaya pengetahuan mengenai buruh tidak mengalami pembelokan, mestinya orang-orang yang langsung mengalaminya ikut memproduksi pengetahuan tersebut.

Membangun komunitas sambil meneliti

Sejak zaman Charles Dickens dan Karl Marx sudah ada banyak penelitian mengenai nasib buruh, namun masih jarang penelitian yang dikerjakan sendiri oleh buruh dan berangkat dari keprihatinan mereka sendiri. Ketika menulis sejarah The Making of the English Working Class (1963), Edward P. Thompson ingin menampilkan ruh yang bekerja dalam diri setiap tukang, pengrajin, buruh pabrik dan ulama lokal. Menurut Thompson, pembentukan kesadaran kelas pekerja merupakan proses yang dimulai dari bawah oleh para buruh sendiri dan bukan oleh para pemimpin yang serba tahu. Ia menolak para sejarawan ekonomi yang melihat buruh sebagai faktor produksi dan angka statistik belaka. PAR mewarisi semangat yang sama dan menawarkan metodologi penelitian yang melibatkan kaum terpinggir sebagai peneliti untuk menjawab kebutuhan-kebutuhan yang muncul dari pahit getir kehidupan mereka setiap hari. Dengan PAR, orang-orang tersingkir membangun kemampuan untuk melakukan penelitian sendiri; dengan kata lain, PAR adalah alat pembebasan. Melalui aktivitas penelitian model ini, kaum tersisih merebut pengetahuan dari dominasi dan monopoli para peneliti mapan seperti para akademisi, lembaga penelitian, bisnis, dan pemerintah.

Pada dasarnya PAR merupakan rangkaian aktivitas yang berlangsung dalam rantai rencana – aksi – refleksi. Ada banyak variasi untuk setiap langkah dalam rantai itu namun pada dasarnya kerangka utamanya tetap. Kerangka ini memperlihatkan bahwa metode penelitian ini berorientasi pada aksi seperti ditunjukkan oleh namanya ‘Penelitian Aksi Partisipatif’. Aksi ini maksudnya adalah bahwa seluruh kegiatan berujung pada usaha untuk memahami persoalan dan mencari jalan keluarnya dengan harapan nantinya buruh dapat memperbaiki nasibnya, betapapun sederhana dan kecil. PAR dibuat supaya penelitian tidak berhenti pada refleksi teoretis atau diskursus ilmiah yang hanya dimengerti oleh para akademisi. Sekalipun demikian, tidak berarti bahwa prosesnya berlangsung secara sekejap seperti sering dituduhkan oleh banyak kalangan ketika menyebut kata ‘proyek’ misalnya. Sebaliknya, PAR boleh jadi membutuhkan waktu yang lebih lama dan proses yang lebih merepotkan daripada penelitian konvensional. Salah satu sumber ‘kerepotan’ ini ada pada sifatnya yang partisipatif.

Sifat partisipatif ini seringkali mudah disalahartikan. Sekarang ini kata ‘partisipatif’ telanjur dipakai berlebihan. Segala aktivitas harus menyandang kata sifat ini bila hendak disebut demokratis. Ada bahaya kata ini dipakai justru untuk menutupi hakikat suatu aktivitas yang sebenarnya tidak partisipatif. Orang sering cukup puas dengan konsultasi dan menyebutnya partisipasi. Bila keputusan sudah diambil secara sepihak dan baru sesudahnya dibicarakan dengan komunitas yang terkena dampaknya, ini bukanlah bentuk partisipasi. Partisipasi juga lebih dari sekedar mobilisasi massa untuk mendukung suatu proyek pembangunan yang sudah diputuskan oleh otoritas berwenang, LSM, atau sekelompok ahli. Partisipasi berarti, komunitas bersangkutan sendiri menengarai persoalan-persoalan yang dihadapinya, mencari jalan keluar dan menetapkan bagaimana jalan keluar itu hendak diwujudkan dalam kebijakan dan tindakan. Orang mungkin bertanya, apakah PAR sama sekali tidak membutuhkan seorang ahli atau peneliti profesional. Partisipasi tidak berarti menutup pintu bagi siapapun di luar komunitas bersangkutan. Ahli atau peneliti profesional masih mungkin terlibat sebagai fasilitator atau narasumber yang membantu kelancaran ketiga tahapan namun tidak ikut menentukan isinya.

Konsekuensinya, komunitas yang hendak membuat penelitian menurut model PAR dituntut mampu mengorganisir dirinya sendiri menjadi kelompok yang efektif dan partisipatif pula. Nama ‘komunitas’ sebenarnya sudah menunjuk pada koherensi tertentu yang menyatukan individu-individu dalam suatu kelompok. Dalam kelompok semacam ini tentu ada perbedaan dan pertarungan kepentingan. Ada kelompok-kelompok kecil dalam kelompok yang lebih besar, dan selalu ada potensi kelompok yang lebih kuat mendominasi kelompok-kelompok lain. Koherensi bisa muncul karena faktor dominasi kelompok kuat, tetapi bisa juga karena perbedaan kepentingan antar kelompok ditata dan diolah secara produktif. Struktur organisasi seperti serikat buruh dapat membantu penataan komunitas buruh, tetapi ia juga dapat melestarikan dominasi kelompok-kelompok mapan. PAR memang mungkin dibajak untuk memperkuat relasi kekuasaan yang telanjur ada dalam kelompok buruh. Misalnya, apakah buruh perempuan merasa kepentingannya terwakili ketika serikat buruh berbicara mengenai kesejahteraan? Apakah senioritas sering lebih penting daripada kapasitas pemahaman isu perburuhan? Apakah buruh pendatang dan buruh setempat dapat sepakat? Penelitian yang sungguh-sungguh partisipatif pasti menyentuh persoalan-persoalan mendasar ini. Persoalan-persoalan ini sudah sering diungkapkan oleh para peneliti. Bedanya, bila penelitian ini dikerjakan oleh buruh sendiri, ada efek pembebas yang ikut bekerja meskipun mungkin tidak selalu diterima oleh setiap orang dalam kelompok buruh itu.

Prospek Masa Depan

Ke dalam, PAR membantu buruh untuk mengorganisir diri bila dijalankan dengan benar. Penelitian partisipatif pada dasarnya adalah latihan dalam berkomunikasi dan bekerjasama dalam komunitas. Nilai-nilai dasar seperti kesadaran kritis, komitmen pada pemberdayaan, dan penghormatan pada keragaman dijunjung tinggi. Ke luar, PAR memperkuat posisi tawar kelompok-kelompok buruh berhadapan dengan pemodal dan pemerintah. Buruh dapat menantang dominasi pemaknaan dan penciptaan realitas oleh aktor-aktor yang selama ini terlalu berpengaruh dalam masyarakat. Bagi para peneliti profesional, PAR menantang konsep-konsep mapan yang selama ini dipakai untuk bekerja. Yang lebih mendasar lagi, PAR menuntut para peneliti untuk menanggalkan asumsi-asumsi teoretisnya dan siap belajar lagi bersama komunitas buruh.

Pada akhirnya, PAR diharapkan untuk menghadirkan realitas alternatif dalam dunia yang selalu berada dalam bahaya dominasi kekuasaan modal. Bahaya ini semakin nyata karena menguatnya korporasi-korporasi multinasional dengan kekuasaan finansial dan diskursif yang hampir tak terbatas. Buruh hanya akan menjadi komoditas murah dalam rantai produksi bila ia tidak mampu menciptakan dunia baru. PAR adalah langkah kecil menuju pembebasan itu.

Bahan Bacaan
  1. Bessette, G. 2004. Involving the Community: a Guide to Participatory Development Communication. Dapat diakses di http://www.idrc.ca/en/ev-52226-201-1-DO_TOPIC.html.
  2. Brydon-Miller, M. et al. 2003. ‘Why Action Research?’ dalam Action Research Vol 1 (1): 9-28.
  3. Dick, B. 2006. ‘Action Research Literature: Themes and Trends’ dalam Action Research Vol 4 (4): 439-458.
  4. Thompson, E.P. 1963. The Making of the English Working Class. Harmondsworth: Penguin.


Selanjutnya, simak disini!

03 Desember 2007

Modal Memiliki Fungsi Sosial

Dimuat dalam Jurnal FPBN edisi 6, Okt 2006 - April 2007

L. Gathot Widyanata

Aktivis Perburuhan,

Bekerja di Biro Pelayanan Buruh Lembaga Daya Dharma – Keuskupan Agung Jakarta

Apakah ‘modal’ memiliki fungsi sosial? Pertanyaan ini, barangkali sulit dijawab, bahkan sulit dinalar. Kinerja modal memiliki prinsip, bagaimana mendatangkan keuntungan sebesar-besarnya seefisien mungkin. Bisa jadi kinerja ‘modal’ pada hakekatnya adalah mesin uang atau sebagai pengganda kapital belaka. Kinerja ‘modal’ berhasil menumbuhkan kekayaan, akan tetapi hasil kekayaannya tidak dinikmati oleh semua orang. Inilah yang disebut bahwa modal menjadi hukum privat, maka wajar jika kinerja ‘modal’ mengelak dari peran sosial, karena peran sosial tidak ada korelasi langsung dengan kenerjanya. Kinerja ‘modal’ memilik prinsip bahwa kesejahteraan sosial adalah tanggung jawab organ publik (pemerintah).

Berbeda dengan Gereja Katolik, ia memandang dengan kaca mata ajaran moral bahwa ‘modal’ memiliki fungsi sosial. Sepanjang sejarah, Gereja Katolik terus menerus berhadapan persoalan sosial yang diakibatkan oleh kinerja ‘modal’. Gereja Katolik tak henti menyerukan seruan moral untuk perbaikan tatanan ekonomi yang ada. Sejak ensiklik “Rerum Novarum” (1891) yang berikutnya lebih dikenal sebagai ASG (Ajaran Sosial Gereja), Gereja Katolik telah mengingatkan kepada kinerja ekonomi bahwa ‘modal’ pada dasarnya memiliki fungsi “sosial.”

Ada dua pemahaman terhadap ‘modal’: Pertama, ‘modal’ menjadi hukum privat, demi kepentingan kekayaan pribadi ( prinsip ekonomi). Kedua, ‘modal’ memiliki fungsi sosial (prinsip ASG). Persoalan sekarang adalah bagaimana Gereja Katolik menjembatani dua pemahaman tentang ‘modal’ menjadi kesejahteraan bersama. Tulisan berikut, penulis hendak mendialogkan dua paham tentang ‘modal’ dalam konteks memperjuangkan hubungan – industrial yang adil dan bermartabat.

Prinsip Prioritas Modal di Atas Buruh

Di masa Orde Baru, perusahaan-perusahaan besar cenderung bersikap serakah dan justru menimbulkan persoalan sosial. Kecenderungan tersebut tak jauh berbeda dengan Orde Reformasi. Sejak rezim reformasi berkuasa (tahun 1998- hingga kini), fenomena hubungan–industrial ditandai dengan sistem “Labour Market Flexibility” sebagai jaminan kinerja modal agar dapat meraup keuntungan sebanyak-banyaknya dan efesien. Namun sistem “Labour Market Flexibility” memberikan dampak negatif bagi buruh. Buruh benar-benar diperbudak oleh “modal.”

Beberapa potret yang menggambarkan sejarah kondisi hancurnya martabat manusia buruh dewasa ini, sebagai akibat dari sistem “Labour Market Flexibility” yang dikutip dari hasil wawancara lapangan & Focus Groups Discusion (FGD) aliansi SB Jabotabekser, Desember 2005 sebagai berikut : ribuan buruh kehilangan pekerjaan karena PHK masal terkait dengan perubahan status kerja, - buruh tetap menjadi buruh kontrak. Akibatnya buruh mengalami ketidakpastian kerja.

Ada lapangan kerja, tetapi proses rekrutmen harus melalui agen-agen tenaga kerja dan harus mengeluarkan banyak ongkos antara 600 ribu hingga 1,5 juta, tergantung masa kontraknya. Buruh atau calon tenaga kerja kini tidak lagi leluasa menemukan kesempatan kerja, tetapi harus berhadapan dengan broker-broker tenaga kerja dalam banyak rupa. Buruh menjadi barang yang diperjual belikan.

Bagi keluarga buruh, dengan perubahan-perubahan ini buruh makin terperosok dalam kondisi kemiskinan. Upah buruh kontrak atau outsourcing sebatas UMK/UMP. Upah buruh terbatas bagi individu yang bekerja bukan untuk keluarganya. Oleh sebab itu, akses untuk pendidikan anak, kesehatan yang memadai tempat tinggal yang layak akan sulit tercapai. Apalagi sebagian besar tenaga kerja yang ada memiliki skill dan mobilitas yang terbatas. Tak ada peluang untuk meningkatkan pendapatan seorang buruh kontrak.

Dari fakta diatas, kaum buruh menyerahkan tenaga mereka untuk digunakan oleh para pengusaha, dan mereka ini, dengan mengikuti prinsip keuntungan sebesar-besarnya, berusaha menentukan upah yang serendah-rendahnya (UMK) untuk kerja yang dilakukan oleh kaum buruh. Tambahan pula, ada unsur- unsur eksploitasi lainnya, yang berkaitan dengan tidak adanya keamanan pekerjaan (ketidakpastian kerja) dan perlindungan yang menyangkut kesehatan (hilangnya jaminan sosial & kesehatan) dan syarat- syarat hidup kaum buruh serta keluarga mereka.

Saat ini, “modal” menjadi dominan, buruh merupakan bagian dari pasar. Martabat buruh ditantang, didesak, dibatasi dan ditekan oleh nilai-nilai pasar. Keberadaan buruh diukur dari permintaan pasar. Pasar menghendaki buruh dengan upah yang murah.

“Bisnis” lalu menjadi paradigma utama dan pasar memiliki kedaulatannya. Peradaban pasar secara implisit menganjurkan dan mengutamakan konsep manusia tertentu yaitu manusia sebagai homo economicus.

Terkait dengan prinsip homo economicus, neoliberal menggagas ‘modal’ termasuk modal manusia (human capital). Siapa saja yang melakukan kerja (termasuk buruh) adalah modal capital. Gagasan neo- liberal, upah buruh bukanlah ‘harga’ bagi tenaga kerja yang dijual, melainkan ‘laba’ dari ‘modal’ yang dipunyai (seperti : otot, ketrampilan, pengetahuan, dst).

Oleh karena itu, dalam gagasan neoliberal, orang-orang yang diupah itu bukanlah buruh yang tergantung pada perusahaan, melainkan para wirausahawan/ti (entrepreneurs) bebas yang bertanggungjawab atas keputusan dan perkembangan sendiri dan yang (sama seperti kapitalis) berusaha memproduksi nilai surplus bagi diri sendiri.

Konsekuensi logis gagasan bahwa buruh sebagai para wirausahawan, yang semula menjadi masalah sosial (seperti: pengangguran , kemiskinan, kekurangan gizi dst..) kemudian menjadi masalah individu. Gagasan buruh sebagai entreprenuer merupakan letak bagaimana “modal” berkelit dari tanggungjawab sosial. Gagasan buruh sebagai entreprenuer menekan negara tidak lagi menerima tanggung jawab untuk memberi dukungan penuh bagi mereka karena alasan apapun tidak mungkin lagi produktif. Singkat kata, gagasan tersebut mau mengatakan bahwa ‘modal ‘ bukan sebagai pelaku sosial bagi semua orang tetapi bagi diri sendiri.

Kinerja Modal : Mengejar Keuntungan Sebesar-besarnya

Bila kita masih ingat tentang rencana revisi UU No. 13 tahun 2003, - pasal-pasal yang diusulkan untuk diubah antara lain : untuk menarik investasi (menanamkan modalnya di Indonesia), memperbaiki iklim perekonomian dengan membuka lapangan kerja baru dan pada akhirnya menguntungkan mereka yang miskin (Koran Tempo, 11/04/06). Namun ‘omongan’ tersebut membuahkan kritik dari berbagai LSM. Kita diajak berhati-hati membaca ‘omongan’ tersebut. Jelas, tak ada pemodal yang berbisnis untuk menciptakan lapangan kerja. Ia berbisnis untuk mengejar laba dan akumulasi modal. Itulah motif utama dan tujuannya. Sejak diberlakukannya UU No. 13 tahun 2003 yang melegalkan buruh kontrak dan outsourcing, terjadi banyak kasus PHK

B Herry Priyono menulis dalam artikelnya “Keuntungan bagi Semua orang” yang dimuat Sadhana No. 244, bahwa “kinerja ekonomi modern biasanya maju dengan prinsip pengejaran kepentingan diri bagi keuntungan pribadi. Ia membuat analogi bahwa kinerja ekonomi digerakan oleh ‘mesin’ raksasa dan motor. ‘Mesin’ raksasa itu adalah (1) gerak pengejaran kepentingan diri, (2) tegangan antara berbagai pengejaran kepentingan diri tiap-tiap orang yang memunculkan kontrol timbal balik, (3) kontrol timbal balik yang diubah menjadi dinamika pertukaran /perdagangan. Persis, itulah kinerja yang sering disebut sistem pasar ( market system).”

Lebih lanjut, Herry Priyono mengatakan dalam artikel yang sama bahwa penanaman modal terjadi jika: (1) prospek laba tinggi sebagai syarat mutlak, (2) kebebasan dan kemudahan keluar–masuk wilayah yurisdiksi, (3) ketersediaan pangsa konsumen, (4) tingkat biaya sebagai cost (misalnya: upah buruh, transportasi, pajak, kesediaan infrastruktur dsb.).

Kita bisa mempelajari kinerja modal dalam istilah-istilah hubungan-industrial agar kita paham bahwa kinerja ekonomi modern untuk memperoleh laba yang tinggi: misalnya saja, istilah pengangguran tidak berarti tiada pekerjaan, tetapi tidak terjadinya proses memperkerjakan orang-orang pada tingkat upah dan resiko tertentu (misalnya karena standar upah terlalu tinggi, atau resiko sulitnya mem-PHK). Kalau upah buruh tinggi, serikat buruh kuat dan buruh terlalu diprotek oleh pemerintah maka modal akan hengkang.

Dari syarat-syarat seperti itulah kemudian muncul istilah ‘insentif ‘(insentive) dalam rupa kemudahan merekrut dan mem-PHK (flexible labour market) bebas pajak untuk jangka waktu tertentu (tex holiday), suku bunga rendah kredit investasi, kecepatan pengurusan administrasi ijin usaha, serta berbagai kemudahan yang menekan biaya dan mengungkit laba.

Dari pemikiran di atas, posisi ‘modal’: keuntungan adalah kunci bagi kemajuan ekonomi, pasar adalah hukum ekonomi yang tertinggi dan modal menjadi hak milik pribadi yang absolut. Kinerja modal memiliki kecenderungan memprioritaskan modal atas kerja, artinya tindakan memerosotkan nilai kerja dan pada akhirnya juga memerosotkan martabat manusia.

‘Modal’ menginginkan negara tidak lagi diharuskan memiliki suatu peranan yang harus dimainkan dalam pendistribusian harta kekayaan. Kita masih ingat paket kebijakan ekonomi Indonesia pada dekade 80-an, seperti paket: ‘deregulasi’, ‘liberalisasi’, dan ‘privatisasi’ merupakan langkah minimalisasi biaya-biaya produksi melalui berbagai regulasi sebagai insentif ekspansi produksi, inovasi, dan menekan harga konsumen. Langkah tersebut tidak hanya mengungkit produksi tetapi melepaskan hak milik atas modal dari kaitannya dengan kehidupan ekonomi. Artinya, hak milik pribadi atas modal makin diloloskan dari berbagai patokan yang bisa dipakai untuk memajukan kesejahteraan bersama.(Press-embargo, BWT, 12 April 2006)

ASG: Modal Memiliki Fungsi Sosial

Prinsip ekonomi: prioritas modal di atas buruh. Prinsip ini memperlihatkan relasi antar pribadi dan sosial buruh. Modal harus dipahami dengan menggunakan kosep dan tolok-ukur ekonomi bukan tolok ukur sosial (etika). Oleh sebab itu, konsep manusia sebagai homo economicus dengan sendirinya meredam atau menyingkirkan kosep manusia sebagai makhluk sosial.

Sehubungan dengan paham bahwa buruh adalah manusia ekonomi, kita harus pertama-tama ingat kembali akan prinsip yang selalu diajarkan oleh Gereja: prinsip prioritas buruh di atas modal. Prinsip ini secara langsung menyangkut proses produksi: didalam proses ini kerja selalu merupakan sebab effisiensi utama, sedangkan modal, seluruh himpunan sarana produksi, tetap hanya alat atau instrumental (LE. 12)

Cara berpikir Gereja Katolik berbeda dengan cara berpikir kinerja ekonomi. Ajaran Gereja Katolik memberikan pemahaman “modal” atau keuntungan bagi kepentingan banyak orang, sedangkan kinerja ekonomi “modal” atau keuntungan dipahami untuk kepentingan diri dan bagi keuntungan pribadi.

Bagaimana Gereja Katolik memahami “modal” atau keuntungan bagi kepentingan banyak orang? Untuk memahami cara berpikir Gereja Katolik tentang kinerja ekonomi modern, kita berangkat dari hasil investigasi Bapak Paus Paulus VI yang dituangkan di dalam eksiklik “Populorum Progressio” (1967). “Populorum Progressio” dalam artikel 26, memperlihatkan kinerja ekonomi sebagai berikut “keuntungan sebagai dorongan utama bagi kemajuan ekonomi, persaingan bebas sebagai norma pemandu bagi ekonomi, dan pemilikan perorangan upaya-upaya produksi sebagai hak mutlak, tanpa batas-batas, tanpa disertai kewajiban-kewajiban sosial.” Keuntungan menjadi tujuan semata dan hak milik pribadi menjadi hak mutlak, maka lahirlah kesenjangan kesejahtraan antara majikan dan buruh. Paus Leo XIII dalam ensiklik “Rerum Novarum”, artikel 1 mempertimbangkan bahwa: “perkembangan baru dalam industri, disertai tehnik-tehnik baru; terjadi perubahan-perubahan dalam hubungan antara majikan dan kaum buruh, sekelompok kecil menjadi kaya raya, sedangkan besarlah jumlah orang yang dililit oleh kemiskinan…”

Buruh dewasa ini, pada zaman fleksibilitas, sulit mendapatkan perlindungan. Buruh secara individu dibiarkan berhadapan dengan “modal”. Akibatnya, buruh yang tak terlindungi akan lemah berhadapan dengan kinerja modal. Bapak Paus Leo XIII memetakan ketidakseimbangan hubungan buruh dengan modal sebagai berikut:

“Maka kaum pekerja yang berdiri sendiri-sendiri dan tanpa sesuatu perlindungan berangsur angsur menjadi mangsa tindakan majikan-majikan yang tak berprikemanusiaan dan permainan nafsu kelobaan persaingan bebas tak terkekang…ditambah pula dengan pemusatan industri dan perdagangan di tangan segelintir orang-orang yang kaya raya dan berkuasa, yang dengan kekuasaan mereka itu membebankan suatu tanggungan yang mirip dengan perbudakan ke atas pundak massa rakyat yang tidak terbilang banyaknya” (Rerum Novarum, artikel 6)

Kinerja modal yang mengutamakan keuntungan dan memuja pasar serta modal menjadi hukum privat adalah penyebab kemiskinan anak-anak duniawi yang berprofesi sebagai buruh. Gereja Katolik memprotes kinerja “modal” yang menjadikan buruh miskin: “Papulorum Progressio” dalam artikel 23 mengatakan: “menurut pandangan para Bapa Gereja dan para teolog ulung lainnya, hak milik perorangan tidak boleh dilaksanakan hingga merugikan kepentingan umum” (PP 23). Merugikan kepentingan bersama sama dengan membunuh orang miskin: “Berilah makan kepada orang yang akan mati kelaparan; sebab bila engkau tidak memberinya makan engkau membunuhnya” (GS. 69). Sekali lagi ditegaskan bahwa modal memiliki kepentingan bersama seperti yang diingatkan oleh Paus Yohanes Paulus II dalam eksiklik “Laborem Exercens” artikel 14: “…hak milik pribadi (modal) itu tunduk kepada hak atas pemakaian bersama, kepada kenyataan bahwa benda- benda itu dimaksudkan untuk setiap orang.”

Menggagas Tanggung Jawab Sosial Perusahaan

Dengan pemikiran di atas, Gereja yakin bahwa pratik ekonomi modern menunjuk bahwa keuntungan bukan hanya untuk segelintir orang tetapi untuk semua orang. Oleh sebab itu, kinerja modal harus memiliki peran sosial di tempat ia menjalankan aktivitasnya. Pemikiran Gereja Katolik tentang modal memiliki fungsi sosial sejalan dengan pemikiran bahwa bisnis memiliki tanggung jawab sosial.

Tanggung jawab sosial korporasi, dalam bahasa Inggris dikenal istilah Corporate Social Responsibility selanjutnya disingkat CSR mengusulkan bagaimana kinerja bisnis menampilkan wajah yang manusiawi. Bagaimana perusahaan memperoleh keuntungan yang sebesar-besarnya, sementara ia berada ditengah-tengah buruh yang sarat dengan problem sosial. CSR disandarkan pada prinsip bahwa korporasi harus memiliki peran sosial ditempat ia menjalankan aktivitasnya (Suara Pembaharuan Daily, 2004:8).

CSR adalah topik yang gencar dibicarakan sekitar 5 tahun terakhir ini. Menurut Herry Priyono, ketua program Pasca Sarjana STF Jakarta yang melatarbelakangi CSR sebagai berikut: pertama, kinerja bisnis besar secara tidak proporsional menguasai dan menentukan jatuh- bangunnya ekonomi dan hajat hidup orang banyak, langsung atau tak langsung. Kedua, gerak bisnis besar semakin terkait dengan hanya dengan kenaikan deviden para pemegang saham, dan makin tidak terkait dengan soal kesejahteraan masayarakat luas. Ketiga, kekuasaan yang dimiliki bisnis besar makin menentukan corak kebijakan publik menurut kepentingannya, yang membuat kebijakan publik makin jauh dari tujuan kesejahteraan umum. Sekurangnya ada dua aspek CSR : (1) upaya mengkaitkan kinerja bisnis dengan kesejahteraan komunitas lokal dan masyarakat luas; (2) upaya mengkaitkan kinerja bisnis dengan standar hak-hak asasi.

Gagasan CSR menjadi penting segera ditangkap untuk melindungi buruh dari ganasnya sistem hubungan kerja yang fleksibel. Labour Market Flexibility beranggapan bahwa kesejahteraan sosial adalah tanggung jawab publik (negara). Bagaimana gagasan CSR ditangkap oleh perusahaan- perusahaan di republik ini? Tak ada cara lain, selain etikat baik perusahaan–perusahaan untuk memasukan CSR sebagai bagian integral dari aktivitas bisnis. Pembangunan berkelanjutan disadari harus dibangun atas dasar kerangka bahwa bisnis akan dapat tumbuh dengan subur diatas masyarakat yang sejahtera. Oleh karena itu, bisnis perlu menyeimbangkan antara aspek ekonomi berupa mencari keuntungan disatu sisi, sebagai motif perusahaan dan pembangunan sosial dan perlindungan lingkungan hidup di sisi lain.

Ada dua ruang kinerja CSR yakni ruang internal hubungan industrial dan ruang eksternal hubungan dengan masyarakat setempat. Secara internal: perusahaan bertanggung jawab untuk menciptakan lingkungan kerja yang sehat, memperhatikan kesejahteraan buruh, serta menjalankan manajemen yang beretika. Untuk kesejahteraan buruh, misalnya perusahaan disemua sektor memenuhi standar perburuhan. Salah satunya standar perburuhan ratifikasi konvensi ILO, seperti dalam konvensi ILO no. 100, pasal 1 ayat a: “istilah pengupahan meliputi upah atau gaji biasa, pokok atau minimum dan pendapatan-pendapatan tambahan apapun juga, yang dibayar langsung atau tidak, maupun secara tunai atau dengan barang oleh majikan kepada buruh berhubungan dengan pekerjaan buruh.” Disamping upah, perusahaan sedapat mungkin mengusahakan pekerjaan dapat berkelanjutan dengan demikian kehidupan buruh yang berkelanjutan dapat dijamin.

Sedangkan secara eksternal: perusahaan yang mengolah sumber alam, maupun sumber daya manusia pada hakekatnya adalah milik publik serta bertanggung jawab untuk memberikan manfaat bagi masyarakat. Dalam konteks industri pabrikan, implementasinya tidak selalu menggunakan tenaga kerja orang sekitar, lebih mengembangkan masyarakat sekitar. Alex Irwan, dalam Seminar Nasional, “Fleksibilitas Pasar Tenaga Kerja: Solusi untuk Siapa?” mengusulkan terkait dengan manfaat sosial perusahaan bagi buruh sebagai berikut: sekolah gratis atau dokter gratis, bila perlu perawatan sakit kelas III gratis.” Jika kesehatan anak-anak buruh ter-cover dan pendidikan mereka gratis maka beban buruh diringankan juga.

Gagasan CSR dapat diintegrasikan dalam kinerja ‘modal’ dengan cara menghidupi modal spiritual, - di dalamnya termasuk modal moral dalam mengelola bisnis. Modal spiritual membantu menanamkan dan membangun budaya perusahaan yang memperdayakan, mengembangkan nilai-nilai kebajikan, tanggung jawab sosial, serta kepedulian setiap individu yang terlibat. Dalam hal ini, Gereja Katolik menemukan kapasitasnya sebagai pengajar nilai-nilai spiritual. Gereja Katolik dapat memberikan seruan moral kepada pelaku bisnis bahwa kinerja ‘modal’ tidak bisa lagi melulu berbicara profit, transaksi, manajemen, akuntansi atau strategi bisnis, tetapi harus mampu berbicara juga tentang pelayanan, pengembangan komunitas, martabat manusia, tanggung jawab sosial, preservasi lingkungan, keadilan, kebenaran, cinta , bahkan kemulian Tuhan. Dengan kata lain, berbisnis adalah bukan sekedar melipatgandakan kapital, tetapi berbisnis adalah cara untuk memakmurkan bangsa, mengangkat harkat dan martabat buruh, memerangi kemiskinan, mendistribusikan kebaikan dst....Akhirnya kinerja ‘modal’ menjadi sebuah ekosistem, bukan sekedar arena persaingan dan medan perang. Didalam ekosistem tidak ada yang menindas dan yang ditindas. Semua yang ada dalam ekosistem saling membutuhkan dan saling melengkapi. Ekosistem selalu mencari keseimbangan dan berkelanjutan.

Cara berpikir Gereja Katolik tentang ‘modal memiliki fungsi sosial’ merupakan amunisi moral untuk membangun partnership LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) menemukan peran dalam mewujudkan kesejahteraan sosial. Gereja Katolik membangun partnership bersama organ-organ publik dan organ-organ privat dan mendesak pemerintah untuk segera membuat aturan mengenai tanggung jawab kesejahteraan sosial. Herry Priyono, dalam artikel ‘Keuntungan bagi Semua Orang’ mengusulkan keterlibatan Gereja Katolik sebagai berikut: “...dalam bahasa ajaran Gereja: upaya membuat dan kalau perlu memaksakan pelaksanaan ‘fungsi sosial bisnis/modal’. Caranya banyak: (1) memaksa policy perusahaan melaksanakan CSR lewat berbagai keputusan rapat pemegang saham; (2) program community development untuk/dengan komunitas lokal; (3) pembentukan/perluasan kelompok kelompok independen yang melakukan monitoring atas praktik dan malpraktik bisnis secara publik sampai bisnis itu mengubah kinerja sesuai dengan CSR.

Dengan demikian bahwa ‘modal’ memiliki fungsi sosial yang tertuang dalam ASG dan ‘modal’ memiliki tanggung jawab sosial yang tertuang dalam CSR musti ditangkap secara positif oleh kinerja ekonomi modern maka diharapkan mengubah kegiatan berbisnis yang dapat menampilkan wajah yang lain yang lebih manusiawi, yang lebih etis dan baik, yang lebih ramah dengan memperhatikan hak dan kepentingan pihak lain. Dengan kata lain, akan tercipta sebuah wawasan yang baru bahwa bisnis bukan sebuah pekerjaan yang kotor, penuh intrik, penuh tipu daya, egoistik, melainkan adalah sebuah kinerja ekonomi yang membanggakan dan didambakan begitu banyak orang untuk kepentingan kesejahteraan umum. (***)

Daftar Pustaka dan Bacaan Pilihan

  1. Ari Siswanto, “Menggagas Tanggung Jawab Sosial Korporasi”, Suara Pembaharuan Daily, 08 April 2004.
  2. B. Herry Priyono, “Dalam Pusaran Neoliberalisme”, dalam “Neoliberalisme” (2003), Cindelaras Pustaka Rakyat Cerdas, Yogyakarta
  3. B. Herry Priyono, “Ekonomi dalam Lumpur”, Kompas, Rabu, 4 Oktober 2006.
  4. B. Herry Priyono, “Homo Oeconomicus”, dalam “Sesudah Filsafat, Esai – Esai untuk Franz Magnis- Suseno”, Kanisius, 2006.
  5. B. Herry Priyono, “Keuntungan bagi Semua Orang”, Sadhana no. 244, Komisi Pengembangan Sosial Ekonomi KWI, 2006
  6. B. Herry Priyono, “Keuntungan bagi Semua Orang”, Sadhana no. 244, Komisi Pengembangan Sosial Ekonomi KWI, 2006
  7. Dokumen Gerejawi Edisi Khusus, “Ajaran Sosial Gereja Tahun 1891 – 1991”, Departemen Dokumentasi dan Penerangan KWI, Jakarta 1999.
  8. FPBN dan Aliansi SB Jatam, “Ketika buruh nombok biaya hidupnya” (Biaya –biaya tersembunyi fleksibilisasi akibat pemberlakuan UU 13/2003), (bahan presentasi), JMC, 11 Januari 2006.
  9. J. Sudarminta, “Tanggung Jawab Sosial Perusahaan”, dalan “Makin Terang Bagi Kami”, TURC, 2006.
  10. Yanuar Nugroho, “Tata kelola Bisnis, ke ‘Bonum Commune’?”, Media Indonesia, 26 September 2005.
  11. The Business Watch Indonesia, “martabat Buruh, kinerja modal dan penyelenggaraan publik”, JMC (Press –embargo), 12 April 2006




Selanjutnya, simak disini!

This page is powered by Blogger. Isn't yours?